PENGENDALIAN HAMA TERPADU (PHT)





I.     LATAR BELAKANG PHT



A.  Latar Belakang

Pengendalian organisme pengganggu tanaman (OPT) di Indonesia berkaitan dengan perkembangan sektor pertanian, sejak penjajahan Belanda sampai saat ini. Pada masa penjajahan Belanda, kegiatan pertanian masih bersifat alami, bahkan di beberapa daerah masih berladang-pindah dan secara tradisional.

Tujuan pembangunan pertanian nasional adalah meningkatkan produksi menuju swasembada pangan, salah satunya beras, melalui empat pendekatan yaitu ekstensifikasi, rehabilitasi, intensifikasi, dan diversifikasi (Harahap et al. 1989; Oka dan Bahagiawati 1991). Intensifikasi pertanian diawali dengan Panca Usaha Pertanian, kemudian berkembang menjadi program Intensifikasi Massal, Intensifikasi Khusus, dan Supra Insus. Program tersebut dilaksanakan melalui peningkatan penggunaan varietas unggul dan pupuk, iptek pertanian, dan pestisida kimia, yang berakibat timbulnya kebergantungan petani pada pestisida kimia sintetis. Insektisida ikut menimbulkan masalah terhadap hama, yaitu timbulnya hama baru, resistensi, esurjensi, terbunuhnya musuh alami, pencemaran lingkungan, dan keracunan terhadap manusia (Sastrodihardjo dan Sastrosiswojo 1983; Laba 1986, 1998).

Penggunaan varietas tahan ditanggapi oleh hama dalam bentuk perubahan ciri populasi, yaitu timbulnya biotipe baru (Bahagiawati dan Oka 1987). Sementara itu, penggunaan insektisida mengakibatkan terganggunya keseimbangan ekologi dan keragaman hayati (Laba dan Soejitno 1987; Sutrisno 1987).

Analisis empiris penggunaan insektisida merupakan analisis berdasarkan fakta dan pengalaman serta hasil penelitian penggunaan insektisida pada tanaman. Hasil analisis ini sangat relevan untuk mengantisipasi dampak internal dan eksternal penggunaan pestisida di Indonesia. Makalah ini lebih banyak mengulas analisis empiris penggunaan insektisida pada tanaman pangan dan sayuran karena kasus insektisida pada tanaman perkebunan lebih sedikit, bahkan beberapa kasus belum terungkap kinerjanya di lapangan.

PENGENDALIAN HAMA DAN PENYAKIT: SEJARAH DAN PERKEMBANGANNYA
Gangguan OPT dapat menyebabkan penurunan kualitas dan kuantitas hasil serta kematian tanaman. Adanya ancaman OPT terhadap tanaman budi daya mengharuskan petani dan perusahaan pertanian melakukan berbagai upaya pengendalian. Sejarah perkembangan pengendalian hama dan penyakit di Indonesia dimulai sejak periode sebelum kemerdekaan, 1950-1960an, 1970-an, dan 1980 sampai sekarang.

Pengendalian hama dan penyakit berdasarkan perspektif global terdiri atas beberapa zaman, yaitu zaman prapestisida, zaman optimisme, zaman keraguan, dan zaman PHT (Flint dan van den Bosch 1990; Norris et al. 2003). Zaman PHT dikelompokkan menjadi dua era, yaitu PHT berbasis teknologi dan PHT berbasis ekologi.

Zaman Prapestisida
Pada zaman prapestisida, pengendalian hama dilakukan dengan cara bercocok tanam dan pengendalian hayati berdasarkan pemahaman biologi hama. Cara ini telah dilakukan oleh bangsa Cina lebih dari 3000 tahun yang lalu. Pada tahun 2500 SM, orang Sumeria menggunakan sulfur untuk mengendalikan serangga tungau (Flint dan van den Bosch 1990). Pengendalian secara bercocok tanam dan hayati pada tanaman padi telah dilakukan di Indonesia sejak zaman kerajaan di Nusantara, mulai dari Kerajaan Purnawarman, Mulawarman, Sriwijaya, Majapahit, Mataram sampai era penjajahan Belanda.

Zaman Optimisme
Zaman optimisme terjadi pada tahun 1945-1962. Pada zaman itu dimulai penggunaan insektisida diklor difenol trikloroetan (DDT), fungisida ferbam, dan herbisida 2,4 D (Flint dan van den Bosch 1990). Selama lebih kurang 10 tahun, penggunaan pestisida menjadi bagian rutin dari kegiatan budi daya tanaman, seperti halnya pengolahan tanah dan pemupukan. Pada zaman optimisme, pengendalian OPT tidak memerhatikan perkembangan pemahaman biologi hama. Petani ingin pertanamannya bebas hama sehingga melakukan aplikasi pestisida secara berjadwal dan berlebihan.

Zaman Keraguan
Zaman keraguan diawali dengan terbitnya Silent Spring oleh Carson (1962) yang membuka mata dunia tentang seriusnya pencemaran lingkungan yang disebabkan oleh DDT. Buku tersebut merupakan tangis kelahiran bayi dari gerakan peduli lingkungan. Hasil penelitian menunjukkan berbagai jenis pestisida merusak kelestarian lingkungan biotik dan abiotik di daerah beriklim sedang maupun tropik (Widianarko et al. 1994; Oka 1995). Salah satu contoh adalah lalat rumah menjadi resisten terhadap DDT sejak tahun 1946. Hal tersebut semakin menjadi perhatian pada era ini. Kurang berhasilnya pengendalian hama secara konvensional mendorong berkembangnya paradigma baru yang berusaha meminimalkan penggunaan pestisida serta dampak negatifnya. Paradigma tersebut dikenal dengan istilah PHT klasik atau PHT teknologi karena pendekatan paradigma ini berorientasi pada teknologi pengendalian hama (Untung, 2006).

Zaman PHT Teknologi
Tahun 1970 merupakan awal dari revolusi hijau pestisida, pupuk sintetis, dan varietas unggul (IR5, IR8, C4, Pelita I-1, dan Pelita I-2), yang merupakan paket produksi. Teknologi baru ini mendorong timbulnya permasalahan wereng coklat, yaitu munculnya biotipe baru. Revolusi hijau telah mendorong petani makin bergantung pada pestisida dalam mengendalikan OPT. Kondisi ini telah menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan dan kesehatan manusia. PHT diawali dengan terbentuknya Environmental Protection Agency (EPA) di Amerika Serikat pada tahun 1972 dan pengalihan wewenang registrasi pestisida dari Departemen Pertanian ke EPA. Pada tahun 1980-1990, berbagai negara menetapkan PHT sebagai kebijakan nasional. Zaman PHT diperkuat oleh terbentuknya KTT Bumi di Rio de Janeiro pada tanggal 14 Juni 1992, mengadopsi seksi I Integrated Pest Management and Control in Agriculture dari Agenda 21 Bab 14 tentang Promoting Sustainable Agriculture and Rural Development (Norris et al. 2003). PHT dicetuskan oleh Stern et al. (1959). Selanjutnya, paradigma PHT berkembang dan diperkaya oleh banyak pakar di dunia serta telah diterapkan di seluruh dunia. Di Indonesia, PHT didukung oleh UU No. 12 tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman, Inpres No 3/1986 yang melarang 57 jenis insektisida, dan PP No. 6 tahun 1995 tentang Perlindungan Tanaman. Pada tahun 1996 keluar keputusan bersama antara Menteri Kesehatan dan Menteri Pertanian tentang batas maksimum residu, serta UU No. 7 tahun 1996 tentang pangan.

Zaman PHT Berbasis Ekologi
Paradigma baru PHT menempatkan petani sebagai penentu dan pelaksana utama PHT di tingkat lapangan. Kenmore (1996) menyatakan bahwa dalam perkembangan-nya, PHT tidak terbatas sebagai teknologi saja, melainkan telah berkembang menjadi suatu konsep mengenai proses penyelesaian masalah OPT di lapangan. PHT berbasis ekologi didorong oleh pengembangan dan penerapan PHT berdasarkan pengertian ekologi lokal hama dan pemberdayaan petani sehingga pengendalian hama disesuaikan dengan masalah yang ada di tiap-tiap lokasi (local specific).

Paradigma PHT berbasis ekologi lebih menekankan pengelolaan proses dan mekanisme ekologi lokal untuk mengendalikan hama daripada intervensi teknologi (Untung 2006). Ekologi lokal yang dikemas ke dalam kearifan lokal (local wisdom) menjadi eco-farming melalui pemanfaatan mikroorganisme lokal untuk mendapatkan agens hayati yang sesuai untuk pengendalian hama. Selanjutnya, Sekolah Lapang Pengendalian Hama Terpadu (SLPHT) diterapkan pada tanaman pangan, sayuran, dan perkebunan.


DAMPAK PENGGUNAAN PESTISIDA



DAMPAK EX-POST PENGGUNAAN INSEKTISIDA
Dampak Insektisida Terhadap Hama Utama

Resistensi Serangga
Insektisida tidak lagi efisien untuk mengendalikan hama jika populasi hama menjadi resisten terhadap insektisida. Penggunaan insektisida yang makin intensif akan meningkatkan biaya pengendalian, mempertinggi mortalitas organisme bukan sasaran, dan menurunkan kualitas lingkungan. Sejak pertama kali Aspidiatus permiciosus resisten terhadap insektisida pada tahun 1908, tercatat 428 artropoda yang resisten insektisida (Georghiou and Melon 1983).

Resisten meningkat menjadi 447 spesies, 60 di antaranya adalah serangga hama pertanian. Pada tahun 1993, serangga hama yang resisten bertambah menjadi 504 jenis. Selain itu, 150 jenis patogen tanaman dan 273 jenis gulma resisten terhadap pestisida (Georghiou 1986).

Di Indonesia, resistensi hama terhadap insektisida telah diketahui sejak tahun 1953. Hama daun kubis, wereng coklat, wereng hijau, dan penggerek batang menjadi tahan terhadap berbagai jenis insektisida dengan tingkat ketahanan 1,9-17,3 kali (Sutrisno 1987; Sastrosiswojo 1992; Ankersmit dalam Oka 1995). Kesepakatan resistensi yang tinggi berkisar antara 4,010,0 kali (Brown 1958; FAO 1967). Populasi hama kapas Heliothis spp. di Sulawesi Tenggara, misalnya, lebih tahan terhadap endosulfan dibandingkan populasi Asembagus, Jawa Timur (Soehardjan et al. 1987).

Resurjensi Serangga
Resurjensi adalah peningkatan populasi hama setelah pemberian insektisida (Soekarna 1978; Sosromarsono 1980). Huffaker dan Spitzer (1950) mengatakan bahwa aplikasi DDT pada tanaman pir di California menyebabkan populasi tungau meningkat. Peristiwa yang sama juga terjadi pada Panonychus ulmi Koc. setelah penyemprotan pada pohon apel (Swiff 1968). Peristiwa resurjensi dijumpai pada berbagai ordo serangga, antara lain Coleoptera, Lepidoptera, dan Homoptera.

Faktor penyebab resurjensi antara lain adalah jenis dan frekuensi pemakaian insektisida. Insektisida golongan organofosfat lebih cepat meningkatkan populasi wereng coklat dibandingkan golongan karbamat. Residu insektisida pada tanaman dengan dosis sublethal maupun dosis lethal dapat menimbulkan resurjensi wereng coklat (Dittrich et al. dalam Chelliah dan Heinrichs 1978). Meningkatnya populasi wereng coklat akibat perlakuan insektisida disebabkan oleh: (1) pengaruh langsung terhadap wereng coklat yaitu meningkatnya jumlah telur (Laba 1986, 1991a); (2) pengaruh tidak langsung yaitu daur hidup nimfa wereng lebih singkat; (3) wereng dewasa dapat hidup lebih lama; (4) menambah aktivitas makan; (5) wereng tertarik untuk meletakkan telur; dan (6) terbunuhnya musuh alami (Mochida 1986; Laba 1992a).

Kasus resurjensi di Indonesia muncul sebelum tahun 1980, dan paling banyak terjadi pada hama padi khususnya wereng coklat dan hama kedelai Spodoptera litura F. Insektisida permetrin, dekametrin, isoprokarb, karbaril, dan diazinon dengan dosis sublethal meningkatkan keperidian S. litura (Harnoto et al. 1983). Residu insektisida fenvalerat menyebabkan S. litura betina hidup lebih lama serta jumlah dan telur yang menetas lebih banyak (Harnoto dan Widodo 1991).

Varietas padi yang rentan lebih cepat menimbulkan resurjensi wereng coklat (Laba dan Sumpena 1986; Laba dan Sutrisno 1992; Laba 1993). Beberapa jenis insektisida menimbulkan resurjensi wereng coklat, meningkatkan jumlah telur (Laba 1986; Laba dan Sutrisno 1993a) dan reproduktivitas/keperidian, serta memperpanjang stadia nimfa (Laba 1989a, 1989b) dan imago (Chelliah dan Heinrichs 1978; Heinrichs dan Mochida 1984; Laba dan Soekarna 1986; Laba 1987; Laba dan Kilin 1995). Di dalam dan luar negeri, tercatat ada 23 jenis insektisida yang menimbulkan resurjensi wereng coklat.

 Organisme Bukan Sasaran

Musuh Alami
Beberapa jenis musuh alami yang berpotensi mengendalikan populasi wereng coklat adalah Anagrus sp., Gonatocerus sp. (Laba dan Atmadja 1992; Laba et al. 1996), dan parasitoid penggerek batang padi Tetrastichus schoenobii Ferr., Telenomus rowani Gah., dan Trichogramma javonica Ashm. (Laba et al. 1997; Laba 1998). Predator wereng coklat adalah Lycosa pseudoannulata, Paederus fuscifes Curt (Laba 1999b), Cyrtorhinus lividipennis Reuter (Laba 1991b; Laba dan Sumpena 1992), serta Coccinella sp. dan Ophionea sp. (Laba 1992b; Laba et al. 1993; Laba 1994, 1999a).

Insektisida golongan organofosfat, karbamat, dan piretroid sintetis berpengaruh negatif terhadap musuh alami wereng dan penggerek batang, yaitu laba-laba (Lycosa sp.), Cyrtorhinus sp., Coccinella sp., Paederus sp., Ophionea sp. (IRRI 1978; Soekarna 1979a; Soekarna 1979b; Kartohardjono dan Soejitno 1987; Laba et al. 1988; Laba dan Sutrisno 1993b), serta parasitoid wereng coklat dan penggerek (Untung et al. 1988; Soejitno et al. 1988; Kilin et al. 1993). Insektisida formulasi butiran mempunyai efek yang lebih rendah dan lambat dibandingkan dengan formulasi cairan, tetapi karbofuran 3% sangat toksik terhadap Cyrtorhinus sp. karena pengaruh uap insektisida secara langsung terhadap populasi Cyrtorhinus sp. (Mukidjo 1979; Sumantri 1988). Penggunaan insektisida pada tanaman kubis dapat memengaruhi aktivitas perkembangan dan peran parasitoid hama Plutella xylostella, yaitu Diadegma semiclausum dan P. xylostella (Sastrosiswojo 1992). Insektisida golong- an karbamat, organofosfat, dan sintetik piretroid dapat menurunkan populasi serangga penyerbuk (Elaeidobius kamerunicus) pada tanaman kelapa sawit, berkisar antara 80-90% (Pardede et al. 1996).

Fention berpengaruh negatif terhadap parasitoid pengisap buah lada (Anastatus piperis, Hadronatus sp., dan Ooencyrtus malayensis) (Laba et al. 2000). Pestisida berspektrum luas dapat membunuh hama sasaran, parasitoid, predator, hiperparasit, serta makhluk bukan sasaran seperti lebah, serangga penyerbuk, cacing, dan serangga pemakan bangkai (Oka 1995). Insektisida profenofos, endosulfan, dan siflutrin berpengaruh negatif terhadap populasi musuh alami H. armigera pada tanaman kapas, antara lain Paederus sp., Camphyloma sp., Chrysopa sp., dan laba-laba (Nurindah dan Subiyakto 1993).

Organisme Bukan Sasaran
Penggunaan pestisida mengakibatkan keracunan akut, kronik, dampak jangka panjang seperti kanker, gangguan urat syaraf, kebutaan, dan kematian. Setiap tahun, sekitar satu juta orang keracunan pestisida dan yang meninggal sekitar 20.000 orang (Oka 1995). Keracunan pestisida pada manusia mencapai tiga juta kasus per tahun (FAO dalam Darmono 2002). Kasus tersebut paling banyak terjadi di negara berkembang. Hal ini disebabkan kurangnya kesadaran, keterampilan, dan pengetahuan petani, serta lemahnya perundang-undangan pestisida. Di Indonesia, jumlah kasus keracunan atau kematian karena pestisida dilaporkan tidak kurang dari 2.705 kecelakaan manusia yang mengakibatkan 236 orang meninggal pada periode 19791986 (Mustamin 1988). Endosulfan sangat toksik terhadap berbagai jenis ikan, udang, dan kepiting (Gorbach dan Knauf 1970 dalam Deciyanto 1980).

Dampak Residu Insektisida terhadap Lingkungan
Pestisida berpengaruh terhadap makhluk hidup karena akumulasi dan absorpsi pestisida melalui rantai makanan sehingga dapat mengganggu keseimbangan ekologi (Tarumingkeng 1977). Residu pestisida dapat hilang atau terurai melalui proses dan kadang-kadang berlangsung dengan derajat yang konstan. Residu pestisida dapat terjadi pada tanaman (daun, buah, cabang, akar), tanah, dan air. Residu insektisida juga dipengaruhi oleh jenis insektisida yang digunakan, antara lain daya larut dalam air, polaritas, reaktif, dan stabilitas kimia.

Banyaknya residu insektisida yang mencapai tanah di Amerika Serikat berkisar antara 1-3 ppm DDT, 0,02-0,08 ppm heptaklor, dan 0,03-0,10 ppm siklodien dan dieldrin (Tarumingkeng 1977). Insektisida yang digunakan di Indonesia sejak tahun 1950 sampai akhir 1960 adalah golongan hidrokarbon berklor seperti DDT, endrin, dieldrin, heptaklor, dan gama BHC. Kelompok senyawa organoklorin mempunyai toksisitas dan persistensi yang sangat tinggi, bahkan metabolitnya dapat lebih persisten atau lebih beracun daripada insektisidanya sendiri, seperti DDT menjadi DDE (Soerjani 1990). Kelompok organoklorin yang terdapat dalam air akan mengancam kehidupan ikan, udang, musuh alami serangga hama, dan manusia (Brown 1978). Penggunaan organoklorin 25 tahun yang lalu di daerah Karawang, Kuningan, dan Cianjur (Jawa Barat) masih meninggalkan residu di atas batas toleransi (Ardiwinata dan Djazuli 1992).

Residu insektisida asefat pada tanaman kubis sebesar 0,02 mg/kg dianggap masih di bawah toleransi yang diizinkan (Koestoni et al. 1987). Residu deltametrin dan permetrin pada buah tomat serta sipermetrin, permetrin, deltametrin, dan profenofos pada tanaman kubis di Kabupaten Bandung dan Garut membahayakan konsumen (Soeriaatmaja dan Sastrosiswojo 1988). Residu endosulfan, diazinon, benomil, dan ditiokarbamat berturut-turut pada wortel, bawang, kentang, dan tomat lebih tinggi dari batas maksimum residu (BMR) yang disarankan FAO dan WHO (Soekardi 1988).

Klorpirifos larut dalam air, sedangkan aldrin larut dalam pelarut organik. Aldrin dapat tinggal di dalam tanah sampai ± 20 tahun, sedangkan klorpirifos antara 2-3 bulan (Kahn 1980 dalam Soejitno et al. 1997).Residu insektisida dalam tanah sangat erat kaitannya dengan kandungan bahan organik tanah. Makin tinggi kandungan bahan organik tanah, makin tinggi kandungan insektisida. Insektisida cenderung menumpuk pada lapisan tanah bagian atas pada kedalaman 10-20 cm. Hal ini karena lapisan tersebut mengandung bahan organik sehingga insektisida mudah diabsorpsi dan sukar untuk keluar (Connel dan Miller 1995 dalam Soejitno et al. 1997).

Keberadaan residu aldrin dalam beras bukan karena aplikasi pada tanaman, melainkan berasal dari dalam tanah sisa pemakaian pada tahun-tahun silam karena sifatnya persisten dan sistemik sehingga dapat terabsorpsi melalui jaringan akar tanaman padi (Soejitno et al. 1997). Residu insektisida pada produk lada masih di bawah BMR, tetapi residu pada buah lada sebelum dipanen lebih rendah dibandingkan setelah panen (Deciyanto et al. 1999; Laba et al. 2000). Hasil penelitian insektisida dan residu insektisida terhadap resurjensi wereng coklat dan pengaruhnya terhadap musuh alami, sampai saat ini masih digunakan sebagai acuan oleh Komisi Pestisida Kementerian Pertanian. Panduan tersebut mendukung program PHT untuk membatasi penggunaan insektisida. Kajian yang mengungkap faktor penyebab timbulnya resurjensi, resistensi, dan residu dapat dijadikan dasar ilmiah untuk mengurangi dampak negatif penggunaan insektisida.



II. PENGERTIAN PENGENDALIAN HAMA TERPADU DAN PRINSIF DASAR PHT



A.  Pengertaian PHT

1.      Menurut UU No. 12 tahun 1992
Sistem Pengendalian Hama Terpadu adalah Upaya pengendalian populasi atau tingkat serangan organisme penganggu tumbuhan dengan penggunaan satu atau lebih dari berbagai teknik/metode pengendalian yang dikembangkan dalam satu kesatuan, untuk mencegah timbulnya keruguin secara ekonomis dan kerusakan lingkungan hidup. Pestisida merupakan alternatif  pengendalian terakhir.

2.      Smith dan Raynolds (1966)
PHT adalah suatu sistem pengelolaan populasi hama yang memanfaatkan semua teknik pengendalian yang sesuai, sekompatebil mungkin untuk mengurangi populasi hama atau mempertahankan pada suatu aras yang berada di bawah aras populasi yang dapat mengakibatkan kerusakan ekonomi.

3.      Menurut FAO dan GCPF ( Global Crop Protection Federation)
PHT adalah suatu pendekatan interdisipliner dalam menggabungkan secara bijak penerapan berbagai metode paling efisien untuk memepertahankan populasi hama pada tingkat yang dapat ditolelir.


B.  Ciri-ciri PHT

1.      Terpadu
Artinya memadukan berbagai metode dan teknik pengendlian hama yang ada yaitu pengendalian hama secara bercocok tanam, fisik, mekanis, biologi dan peraturan pemerintah.

2.      Dinamis
Penerapan PHT disesuaikan dengan keadaan ekosistem dan sistem sosial ekonomi budaya setempat (teknologi kearifan lokal).

3.      Menjaga keanekaragaman dan stabilitas
Ekosistem yang beranekaragam adalah ekosistem yang stabil, yang tidak sering terjadi letusan/peningkatan OPT. PHT tidak mendorong kesergaman tanaman dan genetik.



4.      Memberdayakan petani
Petani sebagai pelaksana utama PHT dan manajer di lahannya harus mampu secara mendiri mengembangkan dan menerapkan prinsif-prinsif dasar PHT. Petani harus mampu mandiri dan kreatif dalam pengambilan keputusan dan menerapkan keputusannya tersebut.

5.      Penggunaan pestisida sintetik dan organik secara hati-hati
Hal tersebut dikarenakan pestisida memiliki harga ekonomis yang mahal, serta bisa membawa dampak negatif bagi lingkungan (ekologi). PHT tidak melarang penggunaan pestisida tetapi harus memperhatikan AE dan  dan kelestarian lingkungan hidup. Penggunaan pestisida hanya untuk mengatur populasi hama agar tidak terjadi tingkat kerusakan tanaman yang merugikan secara ekonomis.


C.  Prinsif  dasar PHT

1.         Budidaya tanaman sehat
Dengan mengunakan paket teknologi dan dan praktek agronomis untuk mewujudkan tanaman sehat.

2.         Pelestarian dan pendayagunaan musuh alami
Dengan pengelolaan dan pelestarian faktor biotik dan abiotik agar berperan secara maksimal dalam mengendalikan populasi dan penekanan tingkat serangan OPT

3.         Pengamatan mingguan secara teratur
Masalah OPT timbul karena kombinasi faktor-faktor lingkungan (biotik dan abiotik) yang mendukung pertumbuhan/perkembangan hama. Oleh karena itu pemantauan lahan dan interaksi faktor biotik dan abiotik secara mingguan dan rutin perlu dilakukan untuk mengkaji potensi serangan OPT, pertumbuhan tanaman. Keputusan dari pengamatan secara mingguan perlu dilakukan untuk mencegah serangan OPT pada saat itu juga ataupun minggu depan. Pengamatan mingguan seringkali disebut dengan pengamatan agroekosistem.


4.         Petani berkemampuan, melaksanakan dan menjadi ahli PHT
Petani sebagai subjek dalam usahataninya, maka petani diposisikan sebagai manager dalam usaha taninya, maka petani perlu dilatih menjadi seorang pengamat, penganalisis ekosistem, pengambil keputusan dan sekaligus menjadi pelaksana hasil keputusannya. Pelatihan untuk mendidik petani namanya SLPHT.


Budidaya tanaman yang sehat

Budidaya tanaman sehat dapat dilakukan dengan mewujudkan :

1.    Tanah yang sehat dan hidup
Adalah tanah yang mengandung semua jenis unsur hara yang dibutuhkan tanaman. Kondisi ini adalah hal yang paling penting dalam teknik PHT untuk mencegah munculnya hama dan penyakit.
Jika seseorang sehat, biasanya berumur panjang, tidak sakit-sakitan, dan cepat sembuh bila Ia sakit. Orang yang sehat akan lebih kuat, mampu bekerja lebih giat, dan menghasilkan keturunan yang sehat pula. Sama halnya pada tumbuh-tumbuhan! Dasar kesehatan yang baik bagi tumbuhan dan manusia juga sama, yaitu: Keseimbangan berbagai macam unsur hara dan mineral (untuk tumbuhan); makanan yang sehat dan gizi yang seimbang (untuk manusia). Tanah yang sehat dan hidup (untuk tumbuhan); rumah yang bersih dan nyaman (untuk manusia).
Air, matahari, dan lingkungan yang sehat (untuk tumbuhan dan manusia). Tanaman yang sehat akan tumbuh lebih kuat sehingga lebih sedikit diserang hama dan penyakit. Bila diserang, tanaman tersebut akan menderita kerusakan yang lebih sedikit dan cepat pulihnya. Menyediakan tanah yang sehat bagi tanaman akan menghemat lebih banyak waktu, usaha dan uang di kemudian hari.

2.    Lingkungan sehat
Apabila kawasan di sekitar lahan Anda sehat dan beragam, kemungkinan munculnya masalah hama akan berkurang. Lingkungan yang sehat merupakan dasar dalam menjaga keseimbangan sistem pada lahan pertanian. Lingkungan yang sehat mencakup sungai, hutan, lereng perbukitan, areal perumahan, dan lain sebagainya. Menjaga sumber-sumber air, menghentikan pembakaran hutan, dan mencegah erosi merupakan langkah-langkah untuk mencapai sebuah lingkungan yang sehat. Lingkungan yang sehat juga mendukung teknik-teknik PHT lainnya.

3.    Penggunaan bibit/benih yang sehat
Menggunakan benih non-hibrida atau benih lokal yang berkualitas baik akan menghasilkan tanaman yang secara alami lebih tahan terhadap hama dan penyakit. Benih non-hibrida dari hasil penyerbukan terbuka baik untuk digunakan karena kualitas benih tersebut akan tetap sama dari generasi ke generasi, dan bahkan bisa meningkat apabila menggunakan teknik penyimpanan benih dan pembibitan yang baik.

4.    Pengelolaan tanaman yang baik
Pengelolaan tanaman yang baik bisa dilakukan dengan cara melakukan teknik tanaman campuran, rotasi tanaman, menggunakan pola-pola alami, dan penanaman berpasangan.

a.    Tanaman Campuran
Bila lahan ditanami hanya dengan satu jenis tanaman dalam jumlah yang besar, akan lebih banyak kesempatan terjadinya serangan hama dan penyakit. Hal ini disebabkan hama dan penyakit mudah menyebar dari satu tanaman ke tanaman berikutnya, dan tersedianya makanan dalam jumlah besar pada satu tempat sehingga jumlah hama dapat meningkat secara drastis. Di daerah yang luas dengan satu jenis tanaman, biasanya tidak tersedia jumlah predator hama yang cukup untuk mengendalikan serangan hama secara alami. Ketika hama atau penyakit menyerang dalam jumlah yang besar, akan sangat sulit untuk mengendalikannya, apalagi jika kerusakan yang ditimbulkan sudah sangat parah.
Dengan menggabungkan berbagai macam tanaman secara Dengan menggabungkan berbagai macam tanaman secara bersamaan akan secara perlahan mengurangi penyebaran hama dari tanaman satu ke tanaman yang lain. Ini akan secara perlahan mengurangi jumlah hama. Misalnya, baris tanaman jagung akan menjadi suatu penghalang hama dan pelindung tanaman yang tumbuh di antara barisan jagung tersebut.

b.    Rotasi tanam
Beberapa hama dan penyakit hidup di dalam tanah dan akan menyebabkan banyak kerusak jika jenis tanaman yang sama ditanam pada lahan yang sama secara berulang-ulang. Rotasi tanaman berarti mengganti jenis tanaman dengan tanaman lain yang berbeda secara teratur. Ini akan memungkinkan hama dan penyakit pada satu tanaman menjadi mati sebelum tanaman yang mereka makan ditanam kembali pada lahan itu. Misalnya, jamur yang menyerang akar-akar tumbuhan.


c.    Penanaman Berpasangan
Beberapa tanaman akan tumbuh sangat baik bila ditanam berdekatan. Namun, ada beberapa tanaman yang tidak cocok hidup bersama. Pengetahuan tentang tanaman yang cocok ditanam bersama dapat membantu meningkatkan pertumbuhan, pengendalian hama dan penyakit, yang nantinya bisa menghasilkan produksi yang lebih banyak pula. Penanaman berpasangan dapat memberi manfaat, antara lain:
 Menolak serangga. Tumbuhan dan bunga-bungaan yang memiliki daun atau bunga dengan aroma yang kuat, seperti bawang putih, kenikir (bunga tahi ayam), aster, dan jahe, akan membingungkan dan menolak hama serangga yang menggunakan penciuman untuk menemukan tumbuh-tumbuhan yang ingin mereka makan. Khusus tanaman kenikir, tanaman ini membantu menolak nematode, sejenis hama yang hidup di tanah dan dapat merusak akar-akar tanaman.
Menarik predator hama alami. Tanaman bunga membantu menarik predator ke kebun disamping memperindah kebun. Tanaman bunga bisa ditanam di sekitar tanaman sayur dan pohon buah-buahan. Tanaman bunga ini misalnya: mawar, kembang sepatu, kenikir, dan beberapa tanaman legum. Memperlambat penyebaran hama. Hama tanaman akan sulit berpindah dari tanaman satu ke tanaman lainnya bila jenis tanaman beragam.
Jenis tanaman yang berbeda memiliki tipe pertumbuhan akar yang berbeda. Pengetahuan tentang berbagai jenis perakaran yang berbeda akan memungkinkan tumbuhan dan pohonpohonan ditanam saling berdekatan. Ada beberapa tanaman, seperti eukaliptus, yang tidak baik ditanam berdekatan dengan tanaman lainnya karena mengeluarkan zat dari akar mereka (zat alelopati) yang menyebabkan tumbuhan lain sulit untuk tumbuh didekatnya.


III.        PENGAMATAN AGROEKOSISTEM


A.      Latar Belakang

Ekosistem merupakan sistem yang terbentuk oleh interaksi dinamis antara unsur biotik dan abiotik. Unsur biotik berupa tanaman, serangga (hama, musuh alami dan pengurai), mikroba dan organisme hidup lainnya. Sedangkan unsur abiotik berupa cuaca dengan unsur-unsurnya dan tanah. Setiap unsur dalam ekosistem mempunyai sifat khusus dan peran yang bervariasi yang secara ruang dan waktu dapat mempengaruhi penyebaran populasi organisme hidup, sehingga ekosistem bersifat dinamis.  Bila kita membicaraka n ekosistem, maka kita pasti membicarakan rantai makanan dan aliran energi dalam satu kesatuan.

Menurut bentuknya ekosistem dibedakan menjadi 2 yaitu ekosostem alami dan ekosistem buatan. Ekosistem alami memiliki heterogenitas organisme hidup, sehingga ekosistem alami mampu mempertahankan proses kehidupannya dengan stabil. Sedangkan ekosistem buatan bersifat labil karena tingkat heterogenitas organisme hidupnya rendah, senhingga untuk mempertahankan bentuk ekosistemnya perlu bantuan masukan input energi dari luar yang dilakukan oleh manusia.

Beberapa hal yang penting dalam agroekosistem adalah
1.        Agroekosistem bersifat dinamis dalam arti jumlah, posisi, peranan dan intensits setiap unsur penyusunnya serta berubah dan atau berkembang secra terus menerus dan berganti setiap saat sebagaimana lazimnya suatu sistem hidup.
2.        Setiap agroekosistem ditandai dengan suatu struktur/jenjang hirarkis yaitu : tanaman adalah produsen makanan, hama makan tanaman dengan aneka pola penyerangannya dan hama merupakan mangsa dan makanan bagi musuh alami. Dengan demikian musuh alami mendudui tingkat teratas pada hirarki rantai makanan agroekosistem. Habisnya tanaman menyebabkan kematian hama dan musuh alami. Sebaliknya matinya dan habisnya musuh alami  akan menyebabkan pertambah meningkatnya hama sehingga  menyebabkan tanaman habis dimakan oleh hama.
3.        Ketiga unsur dalam agroekosistem yaitu tanaman, hama dan musuh alami merupakan satu kesatuan sistem yang sling terkait dan dinamis. Tugas kita sebagai orang pertanian adalah untuk mengelola agar ketiga unsur itu tetap dalam keseimbangan agar tanaman dapat tumbuh dan berkembang sesuai dengan yang diharapkan.

Petani sering terkejut bila terjadi serangan hama secara mendadak pada tanaman dengan intensitas tinggi. Atau tiba-tiba terjadi serangan hama dengan mendadak dan menghabiskan tanaman dalam waktu yang singkat.  Hal ini bisa terjadi karena imifrasi hama dari daerah lain, namun biasanya perkembangan hama terjadi secara berlahan-lahan dipengaruhi oleh ketersediaaan makanan, musuh almi dan cuaca.  Ledakan hama tidak akan terjadi bila petani mengetahui fase-fase perkembangan hama dan perkembangan tanaman serta musuh alami dengan jeli dan rutin mengamati perkembangan tersebut. Maka kita akan mengetahui apa yang terjadi pada tanaman yang kita usahakan.

Dengan demikian pengamatan agroekosistem yang teliti dan rutin sangat penting untuk mendapatkan gambaran yang terjadi pada tanaman, sehingga memudahkan kita untuk mengambil keputusan mengenai tindakan-tindakan yang perlu dilakukan dalam pengelolaan usahatani.






Komentar

  1. Casinos & Games at Jtm Hub
    JTG offers an innovative game 포항 출장샵 catalog that includes over 100 동해 출장샵 casino 대구광역 출장샵 games. It offers over 10 casino games online including a variety of 남양주 출장마사지 table 제주도 출장샵 games such as

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Lembar Persiapan Menyuluh (LPM) dan Sinopsis PTT Padi Sawah

LPM DAN SINOPSIS JARWO

LEMBAR PERSIAPAN MENYULUH (LPM) JAJAR LEGOWO