PENGENDALIAN HAMA TERPADU (PHT)
I. LATAR
BELAKANG PHT
A. Latar Belakang
Pengendalian
organisme pengganggu tanaman (OPT) di Indonesia berkaitan dengan perkembangan
sektor pertanian, sejak penjajahan Belanda sampai saat ini. Pada masa
penjajahan Belanda, kegiatan pertanian masih bersifat alami, bahkan di beberapa
daerah masih berladang-pindah dan secara tradisional.
Tujuan
pembangunan pertanian nasional adalah meningkatkan produksi menuju swasembada
pangan, salah satunya beras, melalui empat pendekatan yaitu ekstensifikasi,
rehabilitasi, intensifikasi, dan diversifikasi (Harahap et al. 1989; Oka
dan Bahagiawati 1991). Intensifikasi pertanian diawali dengan Panca Usaha
Pertanian, kemudian berkembang menjadi program Intensifikasi Massal,
Intensifikasi Khusus, dan Supra Insus. Program tersebut dilaksanakan melalui
peningkatan penggunaan varietas unggul dan pupuk, iptek pertanian, dan
pestisida kimia, yang berakibat timbulnya kebergantungan petani pada pestisida
kimia sintetis. Insektisida ikut menimbulkan masalah terhadap hama, yaitu
timbulnya hama baru, resistensi, esurjensi, terbunuhnya musuh alami, pencemaran
lingkungan, dan keracunan terhadap manusia (Sastrodihardjo dan Sastrosiswojo
1983; Laba 1986, 1998).
Penggunaan
varietas tahan ditanggapi oleh hama dalam bentuk perubahan ciri populasi, yaitu
timbulnya biotipe baru (Bahagiawati dan Oka 1987). Sementara itu, penggunaan
insektisida mengakibatkan terganggunya keseimbangan ekologi dan keragaman
hayati (Laba dan Soejitno 1987; Sutrisno 1987).
Analisis
empiris penggunaan insektisida merupakan analisis berdasarkan fakta dan
pengalaman serta hasil penelitian penggunaan insektisida pada tanaman. Hasil
analisis ini sangat relevan untuk mengantisipasi dampak internal dan eksternal
penggunaan pestisida di Indonesia. Makalah ini lebih banyak mengulas analisis
empiris penggunaan insektisida pada tanaman pangan dan sayuran karena kasus
insektisida pada tanaman perkebunan lebih sedikit, bahkan beberapa kasus belum
terungkap kinerjanya di lapangan.
PENGENDALIAN HAMA DAN PENYAKIT: SEJARAH DAN PERKEMBANGANNYA
Gangguan OPT
dapat menyebabkan penurunan kualitas dan kuantitas hasil serta kematian
tanaman. Adanya ancaman OPT terhadap tanaman budi daya mengharuskan petani dan
perusahaan pertanian melakukan berbagai upaya pengendalian. Sejarah
perkembangan pengendalian hama dan penyakit di Indonesia dimulai sejak periode
sebelum kemerdekaan, 1950-1960an, 1970-an, dan 1980 sampai sekarang.
Pengendalian
hama dan penyakit berdasarkan perspektif global terdiri atas beberapa zaman,
yaitu zaman prapestisida, zaman optimisme, zaman keraguan, dan zaman PHT (Flint
dan van den Bosch 1990; Norris et al. 2003). Zaman PHT dikelompokkan
menjadi dua era, yaitu PHT berbasis teknologi dan PHT berbasis ekologi.
Zaman Prapestisida
Pada zaman
prapestisida, pengendalian hama dilakukan dengan cara bercocok tanam dan
pengendalian hayati berdasarkan pemahaman biologi hama. Cara ini telah
dilakukan oleh bangsa Cina lebih dari 3000 tahun yang lalu. Pada tahun 2500 SM,
orang Sumeria menggunakan sulfur untuk mengendalikan serangga tungau (Flint dan
van den Bosch 1990). Pengendalian secara bercocok tanam dan hayati pada tanaman
padi telah dilakukan di Indonesia sejak zaman kerajaan di Nusantara, mulai dari
Kerajaan Purnawarman, Mulawarman, Sriwijaya, Majapahit, Mataram sampai era
penjajahan Belanda.
Zaman Optimisme
Zaman
optimisme terjadi pada tahun 1945-1962. Pada zaman itu dimulai penggunaan
insektisida diklor difenol trikloroetan (DDT), fungisida ferbam, dan herbisida
2,4 D (Flint dan van den Bosch 1990). Selama lebih kurang 10 tahun, penggunaan
pestisida menjadi bagian rutin dari kegiatan budi daya tanaman, seperti halnya
pengolahan tanah dan pemupukan. Pada zaman optimisme, pengendalian OPT tidak
memerhatikan perkembangan pemahaman biologi hama. Petani ingin pertanamannya
bebas hama sehingga melakukan aplikasi pestisida secara berjadwal dan
berlebihan.
Zaman Keraguan
Zaman keraguan
diawali dengan terbitnya Silent Spring oleh Carson (1962) yang membuka
mata dunia tentang seriusnya pencemaran lingkungan yang disebabkan oleh DDT.
Buku tersebut merupakan tangis kelahiran bayi dari gerakan peduli lingkungan.
Hasil penelitian menunjukkan berbagai jenis pestisida merusak kelestarian
lingkungan biotik dan abiotik di daerah beriklim sedang maupun tropik
(Widianarko et al. 1994; Oka 1995). Salah satu contoh adalah lalat rumah
menjadi resisten terhadap DDT sejak tahun 1946. Hal tersebut semakin menjadi
perhatian pada era ini. Kurang berhasilnya pengendalian hama secara
konvensional mendorong berkembangnya paradigma baru yang berusaha meminimalkan
penggunaan pestisida serta dampak negatifnya. Paradigma tersebut dikenal dengan
istilah PHT klasik atau PHT teknologi karena pendekatan paradigma ini
berorientasi pada teknologi pengendalian hama (Untung, 2006).
Zaman PHT Teknologi
Tahun 1970
merupakan awal dari revolusi hijau pestisida, pupuk sintetis, dan varietas
unggul (IR5, IR8, C4, Pelita I-1, dan Pelita I-2), yang merupakan paket
produksi. Teknologi baru ini mendorong timbulnya permasalahan wereng coklat,
yaitu munculnya biotipe baru. Revolusi hijau telah mendorong petani makin
bergantung pada pestisida dalam mengendalikan OPT. Kondisi ini telah
menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan dan kesehatan manusia. PHT diawali dengan terbentuknya
Environmental Protection Agency (EPA) di Amerika Serikat pada tahun 1972
dan pengalihan wewenang registrasi pestisida dari Departemen Pertanian ke EPA.
Pada tahun 1980-1990, berbagai negara menetapkan PHT sebagai kebijakan
nasional. Zaman PHT diperkuat oleh terbentuknya KTT Bumi di Rio de Janeiro pada
tanggal 14 Juni 1992, mengadopsi seksi I Integrated Pest Management and
Control in Agriculture dari Agenda 21 Bab 14 tentang Promoting
Sustainable Agriculture and Rural Development (Norris et al. 2003).
PHT dicetuskan oleh Stern et al. (1959).
Selanjutnya, paradigma PHT berkembang dan diperkaya oleh banyak pakar di dunia
serta telah diterapkan di seluruh dunia. Di Indonesia, PHT didukung oleh UU No.
12 tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman, Inpres No 3/1986 yang melarang
57 jenis insektisida, dan PP No. 6 tahun 1995 tentang Perlindungan Tanaman.
Pada tahun 1996 keluar keputusan bersama antara Menteri Kesehatan dan Menteri
Pertanian tentang batas maksimum residu, serta UU No. 7 tahun 1996 tentang
pangan.
Zaman PHT Berbasis Ekologi
Paradigma baru
PHT menempatkan petani sebagai penentu dan pelaksana utama PHT di tingkat
lapangan. Kenmore (1996) menyatakan bahwa dalam perkembangan-nya, PHT tidak
terbatas sebagai teknologi saja, melainkan telah berkembang menjadi suatu
konsep mengenai proses penyelesaian masalah OPT di lapangan. PHT berbasis
ekologi didorong oleh pengembangan dan penerapan PHT berdasarkan pengertian
ekologi lokal hama dan pemberdayaan petani sehingga pengendalian hama
disesuaikan dengan masalah yang ada di tiap-tiap lokasi (local specific).
Paradigma PHT
berbasis ekologi lebih menekankan pengelolaan proses dan mekanisme ekologi
lokal untuk mengendalikan hama daripada intervensi teknologi (Untung 2006).
Ekologi lokal yang dikemas ke dalam kearifan lokal (local wisdom)
menjadi eco-farming melalui pemanfaatan mikroorganisme lokal untuk
mendapatkan agens hayati yang sesuai untuk pengendalian hama. Selanjutnya,
Sekolah Lapang Pengendalian Hama Terpadu (SLPHT) diterapkan pada tanaman
pangan, sayuran, dan perkebunan.
DAMPAK
PENGGUNAAN PESTISIDA
DAMPAK EX-POST PENGGUNAAN INSEKTISIDA
Dampak Insektisida Terhadap Hama Utama
Resistensi Serangga
Insektisida
tidak lagi efisien untuk mengendalikan hama jika populasi hama menjadi resisten
terhadap insektisida. Penggunaan insektisida yang makin intensif akan
meningkatkan biaya pengendalian, mempertinggi mortalitas organisme bukan
sasaran, dan menurunkan kualitas lingkungan. Sejak pertama kali Aspidiatus
permiciosus resisten terhadap insektisida pada tahun 1908, tercatat 428
artropoda yang resisten insektisida (Georghiou and Melon 1983).
Resisten
meningkat menjadi 447 spesies, 60 di antaranya adalah serangga hama pertanian.
Pada tahun 1993, serangga hama yang resisten bertambah menjadi 504 jenis.
Selain itu, 150 jenis patogen tanaman dan 273 jenis gulma resisten terhadap
pestisida (Georghiou 1986).
Di Indonesia,
resistensi hama terhadap insektisida telah diketahui sejak tahun 1953. Hama
daun kubis, wereng coklat, wereng hijau, dan penggerek batang menjadi tahan
terhadap berbagai jenis insektisida dengan tingkat ketahanan 1,9-17,3 kali
(Sutrisno 1987; Sastrosiswojo 1992; Ankersmit dalam Oka 1995).
Kesepakatan resistensi yang tinggi berkisar antara 4,010,0 kali (Brown 1958;
FAO 1967). Populasi hama kapas Heliothis spp. di Sulawesi Tenggara,
misalnya, lebih tahan terhadap endosulfan dibandingkan populasi Asembagus, Jawa
Timur (Soehardjan et al. 1987).
Resurjensi Serangga
Resurjensi
adalah peningkatan populasi hama setelah pemberian insektisida (Soekarna 1978;
Sosromarsono 1980). Huffaker dan Spitzer (1950) mengatakan bahwa aplikasi DDT
pada tanaman pir di California menyebabkan populasi tungau meningkat. Peristiwa
yang sama juga terjadi pada Panonychus ulmi Koc. setelah penyemprotan
pada pohon apel (Swiff 1968). Peristiwa resurjensi dijumpai pada berbagai ordo
serangga, antara lain Coleoptera, Lepidoptera, dan Homoptera.
Faktor penyebab
resurjensi antara lain adalah jenis dan frekuensi pemakaian insektisida.
Insektisida golongan organofosfat lebih cepat meningkatkan populasi wereng
coklat dibandingkan golongan karbamat. Residu insektisida pada tanaman dengan
dosis sublethal maupun dosis lethal dapat menimbulkan resurjensi
wereng coklat (Dittrich et al. dalam Chelliah dan Heinrichs 1978).
Meningkatnya populasi wereng coklat akibat perlakuan insektisida disebabkan
oleh: (1) pengaruh langsung terhadap wereng coklat yaitu meningkatnya jumlah
telur (Laba 1986, 1991a); (2) pengaruh tidak langsung yaitu daur hidup nimfa
wereng lebih singkat; (3) wereng dewasa dapat hidup lebih lama; (4) menambah
aktivitas makan; (5) wereng tertarik untuk meletakkan telur; dan (6)
terbunuhnya musuh alami (Mochida 1986; Laba 1992a).
Kasus
resurjensi di Indonesia muncul sebelum tahun 1980, dan paling banyak terjadi
pada hama padi khususnya wereng coklat dan hama kedelai Spodoptera litura F.
Insektisida permetrin, dekametrin, isoprokarb, karbaril, dan diazinon dengan
dosis sublethal meningkatkan keperidian S. litura (Harnoto et
al. 1983). Residu insektisida fenvalerat menyebabkan S. litura
betina hidup lebih lama serta jumlah dan telur yang menetas lebih banyak
(Harnoto dan Widodo 1991).
Varietas padi
yang rentan lebih cepat menimbulkan resurjensi wereng coklat (Laba dan Sumpena
1986; Laba dan Sutrisno 1992; Laba 1993). Beberapa jenis insektisida
menimbulkan resurjensi wereng coklat, meningkatkan jumlah telur (Laba 1986;
Laba dan Sutrisno 1993a) dan reproduktivitas/keperidian, serta memperpanjang
stadia nimfa (Laba 1989a, 1989b) dan imago (Chelliah dan Heinrichs 1978;
Heinrichs dan Mochida 1984; Laba dan Soekarna 1986; Laba 1987; Laba dan Kilin
1995). Di dalam dan luar negeri, tercatat ada 23 jenis insektisida yang
menimbulkan resurjensi wereng coklat.
Organisme Bukan Sasaran
Musuh Alami
Beberapa jenis
musuh alami yang berpotensi mengendalikan populasi wereng coklat adalah Anagrus
sp., Gonatocerus sp. (Laba dan Atmadja 1992; Laba et al. 1996),
dan parasitoid penggerek batang padi Tetrastichus schoenobii Ferr., Telenomus
rowani Gah., dan Trichogramma javonica Ashm. (Laba et al.
1997; Laba 1998). Predator wereng coklat adalah Lycosa pseudoannulata, Paederus
fuscifes Curt (Laba 1999b), Cyrtorhinus lividipennis Reuter (Laba
1991b; Laba dan Sumpena 1992), serta Coccinella sp. dan Ophionea
sp. (Laba 1992b; Laba et al. 1993; Laba 1994, 1999a).
Insektisida
golongan organofosfat, karbamat, dan piretroid sintetis berpengaruh negatif
terhadap musuh alami wereng dan penggerek batang, yaitu laba-laba (Lycosa sp.),
Cyrtorhinus sp., Coccinella sp., Paederus sp., Ophionea
sp. (IRRI 1978; Soekarna 1979a; Soekarna 1979b; Kartohardjono dan Soejitno
1987; Laba et al. 1988; Laba dan Sutrisno 1993b), serta parasitoid
wereng coklat dan penggerek (Untung et al. 1988; Soejitno et al.
1988; Kilin et al. 1993). Insektisida formulasi butiran mempunyai efek
yang lebih rendah dan lambat dibandingkan dengan formulasi cairan, tetapi
karbofuran 3% sangat toksik terhadap Cyrtorhinus sp. karena pengaruh uap
insektisida secara langsung terhadap populasi Cyrtorhinus sp. (Mukidjo
1979; Sumantri 1988). Penggunaan insektisida pada tanaman kubis dapat
memengaruhi aktivitas perkembangan dan peran parasitoid hama Plutella
xylostella, yaitu Diadegma semiclausum dan P. xylostella (Sastrosiswojo
1992). Insektisida golong- an karbamat, organofosfat, dan sintetik piretroid
dapat menurunkan populasi serangga penyerbuk (Elaeidobius kamerunicus)
pada tanaman kelapa sawit, berkisar antara 80-90% (Pardede et al. 1996).
Fention
berpengaruh negatif terhadap parasitoid pengisap buah lada (Anastatus
piperis, Hadronatus sp., dan Ooencyrtus malayensis) (Laba et al.
2000). Pestisida berspektrum luas dapat membunuh hama sasaran, parasitoid,
predator, hiperparasit, serta makhluk bukan sasaran seperti lebah, serangga
penyerbuk, cacing, dan serangga pemakan bangkai (Oka 1995). Insektisida
profenofos, endosulfan, dan siflutrin berpengaruh negatif terhadap populasi
musuh alami H. armigera pada tanaman kapas, antara lain Paederus sp.,
Camphyloma sp., Chrysopa sp., dan laba-laba (Nurindah dan
Subiyakto 1993).
Organisme Bukan Sasaran
Penggunaan
pestisida mengakibatkan keracunan akut, kronik, dampak jangka panjang seperti
kanker, gangguan urat syaraf, kebutaan, dan kematian. Setiap tahun, sekitar
satu juta orang keracunan pestisida dan yang meninggal sekitar 20.000 orang
(Oka 1995). Keracunan pestisida pada manusia mencapai tiga juta kasus per tahun
(FAO dalam Darmono 2002). Kasus tersebut paling banyak terjadi di negara
berkembang. Hal ini disebabkan kurangnya kesadaran, keterampilan, dan
pengetahuan petani, serta lemahnya perundang-undangan pestisida. Di Indonesia,
jumlah kasus keracunan atau kematian karena pestisida dilaporkan tidak kurang
dari 2.705 kecelakaan manusia yang mengakibatkan 236 orang meninggal pada
periode 19791986 (Mustamin 1988). Endosulfan sangat toksik terhadap berbagai
jenis ikan, udang, dan kepiting (Gorbach dan Knauf 1970 dalam Deciyanto
1980).
Dampak Residu Insektisida terhadap Lingkungan
Pestisida
berpengaruh terhadap makhluk hidup karena akumulasi dan absorpsi pestisida
melalui rantai makanan sehingga dapat mengganggu keseimbangan ekologi
(Tarumingkeng 1977). Residu pestisida dapat hilang atau terurai melalui proses
dan kadang-kadang berlangsung dengan derajat yang konstan. Residu pestisida
dapat terjadi pada tanaman (daun, buah, cabang, akar), tanah, dan air. Residu
insektisida juga dipengaruhi oleh jenis insektisida yang digunakan, antara lain
daya larut dalam air, polaritas, reaktif, dan stabilitas kimia.
Banyaknya residu
insektisida yang mencapai tanah di Amerika Serikat berkisar antara 1-3 ppm DDT,
0,02-0,08 ppm heptaklor, dan 0,03-0,10 ppm siklodien dan dieldrin (Tarumingkeng
1977). Insektisida yang digunakan di Indonesia sejak tahun 1950 sampai akhir
1960 adalah golongan hidrokarbon berklor seperti DDT, endrin, dieldrin,
heptaklor, dan gama BHC. Kelompok senyawa organoklorin mempunyai toksisitas dan
persistensi yang sangat tinggi, bahkan metabolitnya dapat lebih persisten atau
lebih beracun daripada insektisidanya sendiri, seperti DDT menjadi DDE
(Soerjani 1990). Kelompok organoklorin yang terdapat dalam air akan mengancam
kehidupan ikan, udang, musuh alami serangga hama, dan manusia (Brown 1978).
Penggunaan organoklorin 25 tahun yang lalu di daerah Karawang, Kuningan, dan
Cianjur (Jawa Barat) masih meninggalkan residu di atas batas toleransi
(Ardiwinata dan Djazuli 1992).
Residu insektisida
asefat pada tanaman kubis sebesar 0,02 mg/kg dianggap masih di bawah toleransi
yang diizinkan (Koestoni et al. 1987). Residu deltametrin dan permetrin
pada buah tomat serta sipermetrin, permetrin, deltametrin, dan profenofos pada
tanaman kubis di Kabupaten Bandung dan Garut membahayakan konsumen
(Soeriaatmaja dan Sastrosiswojo 1988). Residu endosulfan, diazinon, benomil,
dan ditiokarbamat berturut-turut pada wortel, bawang, kentang, dan tomat lebih
tinggi dari batas maksimum residu (BMR) yang disarankan FAO dan WHO (Soekardi
1988).
Klorpirifos larut
dalam air, sedangkan aldrin larut dalam pelarut organik. Aldrin dapat tinggal
di dalam tanah sampai ± 20 tahun, sedangkan klorpirifos antara 2-3 bulan (Kahn
1980 dalam Soejitno et al. 1997).Residu insektisida dalam tanah
sangat erat kaitannya dengan kandungan bahan organik tanah. Makin tinggi
kandungan bahan organik tanah, makin tinggi kandungan insektisida. Insektisida
cenderung menumpuk pada lapisan tanah bagian atas pada kedalaman 10-20 cm. Hal
ini karena lapisan tersebut mengandung bahan organik sehingga insektisida mudah
diabsorpsi dan sukar untuk keluar (Connel dan Miller 1995 dalam Soejitno
et al. 1997).
Keberadaan residu
aldrin dalam beras bukan karena aplikasi pada tanaman, melainkan berasal dari
dalam tanah sisa pemakaian pada tahun-tahun silam karena sifatnya persisten dan
sistemik sehingga dapat terabsorpsi melalui jaringan akar tanaman padi
(Soejitno et al. 1997). Residu insektisida pada produk lada masih di
bawah BMR, tetapi residu pada buah lada sebelum dipanen lebih rendah
dibandingkan setelah panen (Deciyanto et al. 1999; Laba et al.
2000). Hasil penelitian insektisida dan residu insektisida terhadap resurjensi
wereng coklat dan pengaruhnya terhadap musuh alami, sampai saat ini masih
digunakan sebagai acuan oleh Komisi Pestisida Kementerian Pertanian. Panduan
tersebut mendukung program PHT untuk membatasi penggunaan insektisida. Kajian
yang mengungkap faktor penyebab timbulnya resurjensi, resistensi, dan residu
dapat dijadikan dasar ilmiah untuk mengurangi dampak negatif penggunaan
insektisida.
II. PENGERTIAN PENGENDALIAN
HAMA TERPADU DAN PRINSIF DASAR PHT
A. Pengertaian PHT
1.
Menurut UU No. 12 tahun 1992
Sistem Pengendalian Hama Terpadu adalah Upaya pengendalian populasi
atau tingkat serangan organisme penganggu tumbuhan dengan penggunaan satu atau
lebih dari berbagai teknik/metode pengendalian yang dikembangkan dalam satu
kesatuan, untuk mencegah timbulnya keruguin secara ekonomis dan kerusakan
lingkungan hidup. Pestisida merupakan alternatif pengendalian terakhir.
2.
Smith dan Raynolds (1966)
PHT adalah suatu sistem pengelolaan populasi hama yang memanfaatkan
semua teknik pengendalian yang sesuai, sekompatebil mungkin untuk mengurangi
populasi hama atau mempertahankan pada suatu aras yang berada di bawah aras
populasi yang dapat mengakibatkan kerusakan ekonomi.
3.
Menurut FAO dan GCPF ( Global Crop Protection Federation)
PHT adalah suatu pendekatan interdisipliner dalam menggabungkan
secara bijak penerapan berbagai metode paling efisien untuk memepertahankan
populasi hama pada tingkat yang dapat ditolelir.
B. Ciri-ciri PHT
1.
Terpadu
Artinya
memadukan berbagai metode dan teknik pengendlian hama yang ada yaitu
pengendalian hama secara bercocok tanam, fisik, mekanis, biologi dan peraturan
pemerintah.
2.
Dinamis
Penerapan
PHT disesuaikan dengan keadaan ekosistem dan sistem sosial ekonomi budaya
setempat (teknologi kearifan lokal).
3.
Menjaga keanekaragaman dan
stabilitas
Ekosistem
yang beranekaragam adalah ekosistem yang stabil, yang tidak sering terjadi
letusan/peningkatan OPT. PHT tidak mendorong kesergaman tanaman dan genetik.
4.
Memberdayakan petani
Petani
sebagai pelaksana utama PHT dan manajer di lahannya harus mampu secara mendiri
mengembangkan dan menerapkan prinsif-prinsif dasar PHT. Petani harus mampu
mandiri dan kreatif dalam pengambilan keputusan dan menerapkan keputusannya
tersebut.
5.
Penggunaan pestisida sintetik
dan organik secara hati-hati
Hal
tersebut dikarenakan pestisida memiliki harga ekonomis yang mahal, serta bisa
membawa dampak negatif bagi lingkungan (ekologi). PHT tidak melarang penggunaan
pestisida tetapi harus memperhatikan AE dan
dan kelestarian lingkungan hidup. Penggunaan pestisida hanya untuk
mengatur populasi hama agar tidak terjadi tingkat kerusakan tanaman yang
merugikan secara ekonomis.
C. Prinsif dasar PHT
1.
Budidaya tanaman sehat
Dengan mengunakan paket teknologi dan dan praktek agronomis untuk
mewujudkan tanaman sehat.
2.
Pelestarian dan pendayagunaan
musuh alami
Dengan pengelolaan dan pelestarian faktor biotik dan abiotik agar
berperan secara maksimal dalam mengendalikan populasi dan penekanan tingkat
serangan OPT
3.
Pengamatan mingguan secara
teratur
Masalah OPT timbul karena kombinasi faktor-faktor lingkungan (biotik
dan abiotik) yang mendukung pertumbuhan/perkembangan hama. Oleh karena itu
pemantauan lahan dan interaksi faktor biotik dan abiotik secara mingguan dan
rutin perlu dilakukan untuk mengkaji potensi serangan OPT, pertumbuhan tanaman.
Keputusan dari pengamatan secara mingguan perlu dilakukan untuk mencegah
serangan OPT pada saat itu juga ataupun minggu depan. Pengamatan mingguan
seringkali disebut dengan pengamatan agroekosistem.
4.
Petani berkemampuan,
melaksanakan dan menjadi ahli PHT
Petani sebagai subjek dalam usahataninya, maka petani diposisikan
sebagai manager dalam usaha taninya, maka petani perlu dilatih menjadi seorang
pengamat, penganalisis ekosistem, pengambil keputusan dan sekaligus menjadi
pelaksana hasil keputusannya. Pelatihan untuk mendidik petani namanya SLPHT.
Budidaya
tanaman yang sehat
Budidaya tanaman sehat dapat dilakukan
dengan mewujudkan :
1.
Tanah yang sehat dan hidup
Adalah tanah yang mengandung semua jenis unsur hara yang
dibutuhkan tanaman. Kondisi ini adalah hal yang paling penting dalam teknik PHT
untuk mencegah munculnya hama dan penyakit.
Jika seseorang sehat, biasanya berumur panjang, tidak
sakit-sakitan, dan cepat sembuh bila Ia sakit. Orang yang sehat akan lebih
kuat, mampu bekerja lebih giat, dan menghasilkan keturunan yang sehat pula.
Sama halnya pada tumbuh-tumbuhan! Dasar kesehatan yang baik bagi tumbuhan dan
manusia juga sama, yaitu: Keseimbangan berbagai macam unsur hara dan mineral (untuk
tumbuhan); makanan yang sehat dan gizi yang seimbang (untuk manusia). Tanah
yang sehat dan hidup (untuk tumbuhan); rumah yang bersih dan nyaman (untuk
manusia).
Air, matahari, dan lingkungan yang sehat (untuk tumbuhan dan
manusia). Tanaman yang sehat akan tumbuh lebih kuat sehingga lebih sedikit
diserang hama dan penyakit. Bila diserang, tanaman tersebut akan menderita
kerusakan yang lebih sedikit dan cepat pulihnya. Menyediakan tanah yang sehat
bagi tanaman akan menghemat lebih banyak waktu, usaha dan uang di kemudian
hari.
2.
Lingkungan sehat
Apabila kawasan di sekitar lahan Anda sehat dan beragam,
kemungkinan munculnya masalah hama akan berkurang. Lingkungan yang sehat
merupakan dasar dalam menjaga keseimbangan sistem pada lahan pertanian.
Lingkungan yang sehat mencakup sungai, hutan, lereng perbukitan, areal
perumahan, dan lain sebagainya. Menjaga sumber-sumber air, menghentikan
pembakaran hutan, dan mencegah erosi merupakan langkah-langkah untuk mencapai
sebuah lingkungan yang sehat. Lingkungan yang sehat juga mendukung
teknik-teknik PHT lainnya.
3.
Penggunaan bibit/benih yang
sehat
Menggunakan benih non-hibrida atau benih lokal yang berkualitas
baik akan menghasilkan tanaman yang secara alami lebih tahan terhadap hama dan
penyakit. Benih non-hibrida dari hasil penyerbukan terbuka baik untuk digunakan
karena kualitas benih tersebut akan tetap sama dari generasi ke generasi, dan
bahkan bisa meningkat apabila menggunakan teknik penyimpanan benih dan
pembibitan yang baik.
4.
Pengelolaan tanaman yang baik
Pengelolaan tanaman yang baik bisa dilakukan dengan cara melakukan
teknik tanaman campuran, rotasi tanaman, menggunakan pola-pola alami, dan
penanaman berpasangan.
a.
Tanaman Campuran
Bila lahan ditanami hanya
dengan satu jenis tanaman dalam jumlah yang besar, akan lebih banyak kesempatan
terjadinya serangan hama dan penyakit. Hal ini disebabkan hama dan penyakit
mudah menyebar dari satu tanaman ke tanaman berikutnya, dan tersedianya makanan
dalam jumlah besar pada satu tempat sehingga jumlah hama dapat meningkat secara
drastis. Di daerah yang luas dengan satu jenis tanaman, biasanya tidak tersedia
jumlah predator hama yang cukup untuk mengendalikan serangan hama secara alami.
Ketika hama atau penyakit menyerang dalam jumlah yang besar, akan sangat sulit
untuk mengendalikannya, apalagi jika kerusakan yang ditimbulkan sudah sangat
parah.
Dengan menggabungkan berbagai
macam tanaman secara Dengan menggabungkan berbagai macam tanaman secara
bersamaan akan secara perlahan mengurangi penyebaran hama dari tanaman satu ke tanaman
yang lain. Ini akan secara perlahan mengurangi jumlah hama. Misalnya, baris
tanaman jagung akan menjadi suatu penghalang hama dan pelindung tanaman yang
tumbuh di antara barisan jagung tersebut.
b. Rotasi tanam
Beberapa hama dan penyakit
hidup di dalam tanah dan akan menyebabkan banyak kerusak jika jenis tanaman
yang sama ditanam pada lahan yang sama secara berulang-ulang. Rotasi tanaman
berarti mengganti jenis tanaman dengan tanaman lain yang berbeda secara
teratur. Ini akan memungkinkan hama dan penyakit pada satu tanaman menjadi mati
sebelum tanaman yang mereka makan ditanam kembali pada lahan itu. Misalnya,
jamur yang menyerang akar-akar tumbuhan.
c. Penanaman Berpasangan
Beberapa tanaman akan tumbuh
sangat baik bila ditanam berdekatan. Namun, ada beberapa tanaman yang tidak
cocok hidup bersama. Pengetahuan tentang tanaman yang cocok ditanam bersama
dapat membantu meningkatkan pertumbuhan, pengendalian hama dan penyakit, yang
nantinya bisa menghasilkan produksi yang lebih banyak pula. Penanaman berpasangan
dapat memberi manfaat, antara lain:
Menolak serangga. Tumbuhan dan bunga-bungaan
yang memiliki daun atau bunga dengan aroma yang kuat, seperti bawang putih,
kenikir (bunga tahi ayam), aster, dan jahe, akan membingungkan dan menolak hama
serangga yang menggunakan penciuman untuk menemukan tumbuh-tumbuhan yang ingin
mereka makan. Khusus tanaman kenikir, tanaman ini membantu menolak nematode,
sejenis hama yang hidup di tanah dan dapat merusak akar-akar tanaman.
Menarik predator hama alami.
Tanaman bunga membantu menarik predator ke kebun disamping memperindah kebun.
Tanaman bunga bisa ditanam di sekitar tanaman sayur dan pohon buah-buahan.
Tanaman bunga ini misalnya: mawar, kembang sepatu, kenikir, dan beberapa
tanaman legum. Memperlambat penyebaran hama.
Hama tanaman akan sulit berpindah dari tanaman satu ke tanaman lainnya bila
jenis tanaman beragam.
Jenis tanaman yang berbeda
memiliki tipe pertumbuhan akar yang berbeda. Pengetahuan tentang berbagai jenis
perakaran yang berbeda akan memungkinkan tumbuhan dan pohonpohonan ditanam
saling berdekatan. Ada beberapa tanaman, seperti eukaliptus, yang tidak baik
ditanam berdekatan dengan tanaman lainnya karena mengeluarkan zat dari akar
mereka (zat alelopati) yang menyebabkan tumbuhan lain sulit untuk tumbuh didekatnya.
III.
PENGAMATAN AGROEKOSISTEM
A.
Latar Belakang
Ekosistem merupakan sistem yang
terbentuk oleh interaksi dinamis antara unsur biotik dan abiotik. Unsur biotik
berupa tanaman, serangga (hama, musuh alami dan pengurai), mikroba dan
organisme hidup lainnya. Sedangkan unsur abiotik berupa cuaca dengan
unsur-unsurnya dan tanah. Setiap unsur dalam ekosistem mempunyai sifat khusus
dan peran yang bervariasi yang secara ruang dan waktu dapat mempengaruhi
penyebaran populasi organisme hidup, sehingga ekosistem bersifat dinamis. Bila kita membicaraka n ekosistem, maka kita
pasti membicarakan rantai makanan dan aliran energi dalam satu kesatuan.
Menurut bentuknya ekosistem dibedakan
menjadi 2 yaitu ekosostem alami dan ekosistem buatan. Ekosistem alami memiliki
heterogenitas organisme hidup, sehingga ekosistem alami mampu mempertahankan
proses kehidupannya dengan stabil. Sedangkan ekosistem buatan bersifat labil
karena tingkat heterogenitas organisme hidupnya rendah, senhingga untuk mempertahankan
bentuk ekosistemnya perlu bantuan masukan input energi dari luar yang dilakukan
oleh manusia.
Beberapa hal yang penting dalam
agroekosistem adalah
1.
Agroekosistem
bersifat dinamis dalam arti jumlah, posisi, peranan dan intensits setiap unsur
penyusunnya serta berubah dan atau berkembang secra terus menerus dan berganti
setiap saat sebagaimana lazimnya suatu sistem hidup.
2.
Setiap
agroekosistem ditandai dengan suatu struktur/jenjang hirarkis yaitu : tanaman
adalah produsen makanan, hama makan tanaman dengan aneka pola penyerangannya
dan hama merupakan mangsa dan makanan bagi musuh alami. Dengan demikian musuh
alami mendudui tingkat teratas pada hirarki rantai makanan agroekosistem.
Habisnya tanaman menyebabkan kematian hama dan musuh alami. Sebaliknya matinya
dan habisnya musuh alami akan
menyebabkan pertambah meningkatnya hama sehingga menyebabkan tanaman habis dimakan oleh hama.
3.
Ketiga
unsur dalam agroekosistem yaitu tanaman, hama dan musuh alami merupakan satu
kesatuan sistem yang sling terkait dan dinamis. Tugas kita sebagai orang
pertanian adalah untuk mengelola agar ketiga unsur itu tetap dalam keseimbangan
agar tanaman dapat tumbuh dan berkembang sesuai dengan yang diharapkan.
Petani sering terkejut bila terjadi serangan hama
secara mendadak pada tanaman dengan intensitas tinggi. Atau tiba-tiba terjadi
serangan hama dengan mendadak dan menghabiskan tanaman dalam waktu yang
singkat. Hal ini bisa terjadi karena
imifrasi hama dari daerah lain, namun biasanya perkembangan hama terjadi secara
berlahan-lahan dipengaruhi oleh ketersediaaan makanan, musuh almi dan
cuaca. Ledakan hama tidak akan terjadi
bila petani mengetahui fase-fase perkembangan hama dan perkembangan tanaman
serta musuh alami dengan jeli dan rutin mengamati perkembangan tersebut. Maka
kita akan mengetahui apa yang terjadi pada tanaman yang kita usahakan.
Dengan demikian pengamatan agroekosistem yang
teliti dan rutin sangat penting untuk mendapatkan gambaran yang terjadi pada
tanaman, sehingga memudahkan kita untuk mengambil keputusan mengenai
tindakan-tindakan yang perlu dilakukan dalam pengelolaan usahatani.
Casinos & Games at Jtm Hub
BalasHapusJTG offers an innovative game 포항 출장샵 catalog that includes over 100 동해 출장샵 casino 대구광역 출장샵 games. It offers over 10 casino games online including a variety of 남양주 출장마사지 table 제주도 출장샵 games such as